Sabtu, 05 September 2009

KISAH PENERBANGAN CELEBI BERSAUDARA

Peristiwa penerbangan lagendaris itu dicatat sebagai peristiwa terbang berawak vertikal pertama yang menggunakan sistem pendorong berupa tujuh roket dengan bubuk mesiu sebanyak 300 pound.

Peradaban Barat mengklaim  Wright bersaudara (Wright brothers), Orville dan Wilbur sebagai  penemu pesawat terbang pertama. Pada 17 Desember 1903, keduanya berhasil menerbangkan pesawat yang dibuatnya. Padahal, tiga abad sebelum Wright bersaudara mencoba melakukan penerbangan, dari Kekhalifahan Turki Usmani, Celebi bersaudara telah melakukan hal yang sama.

Pada abad ke-17 M,  dua ilmuwan Muslim bersaudara itu berhasil melakukan uji coba penerbangan. Celebi bersaudara dikenal sangat tertarik dan cinta terhadap ilmu pengetahuan khususnya fisika, yang terkait dengan dunia penerbangan. Setiap hari,  mereka berdua belajar dan mempraktikkan ilmu penerbangan.

Hingga akhirnya, Celebi bersaudara berhasil  menerbangkan pesawat ciptaan mereka sendiri meskipun dengan teknologi yang cukup sederhana. Tetapi pesawat hasil ciptaan mereka merupakan model dari pesawat-pesawat di dunia penerbangan modern saat ini. Kedua bersaudara itu adalah:

* Hezarfen Ahmet Celebi
Herzafen Ahmet Celebi merupakan saudara laki-laki Lagari Hasan Celebi. Pada suatu ketika terjadi pertempuran sengit di laut antara tentara Turki Usmani dengan pasukan asal Genoa, Italia. Dalam pertempuran yang dahsyat itu, akhirnya tentara Turki, termasuk di dalamnya Herzafen menjadi pemenangnya.

Sedangkan Fransesca, putri sang kapten kapal dari Genoa juga selamat dari pertempuran dan menjadi tawanan tentara Turki Usmani. Tak berapa lama kemudian, Hezarfen yang masih muda jatuh cinta kepada Fransesca hingga akhirnya mereka menikah. Rupanya Fransesca merupakan perempuan yang cerdas.

Dia juga banyak memiliki ilmu pengetahuan dari riset-riset penerbangan yang pernah dilakukan oleh para ilmuwan di negaranya, Italia. Akhirnya dibantu oleh Fransesca dan saudaranya Lagari, Hezarfen melakukan riset untuk menciptakan pesawat terbang.

Hezarfen sendiri sangat terobsesi untuk menciptakan pesawat terbang karena terinspirasi oleh seorang ilmuwan Muslim sebelumnya yang juga sangat tertarik dengan dunia penerbangan yakni Ismail Cevheri. Tetapi pada masa percobaannya, Ismail mengalami kegagalan.

Ismail melakukan uji coba pesawatnya dengan terbang dari sebuah menara pada abad ke-10. Tetapi karena dia kurang memiliki pengetahuan tentang aerodinamika sayap, Ismail terjatuh saat melakukan penerbangan dan menghembuskan nafas terakhirnya seketika itu juga. Oleh karena itu, Herzafen berupaya keras untuk menyempurnakan riset penerbangan Ismail Cevheri bersama saudaranya.

Herzafen terus melakukan riset penerbangan. Setelah melakukan riset studi terhadap burung dan melakukan percobaan penerbangan sebanyak sembilan kali, maka Herzafen memberanikan diri untuk memperagakan penerbangan pesawatnya di depan Sultan Murad ke-IV dan penduduk Istanbul pada 1630.

Herzafen akhirnya melakukan penerbangan dari menara Galata yang tingginya 183 kaki dengan pesawat terbangnya yang sederhana terbuat dari kulit binatang yang disangga oleh rangka-rangka kayu. Herzafen berhasil terbang dengan tinggi di atas 150 meter dari permukaan air laut menuju Oskudar.

Selama penerbangan, Herzafen terus berusaha menyeimbangkan arah angin dan arah terbangnya hingga akhirnya mendarat dengan selamat di sebuah padang rumput Doganciar di Oskudar. Jarak terbang yang telah dia tempuh mencapai 3.200 meter.

Hezarfen merupakan orang pertama yang melakukan penerbangan lintas benua dari Eropa menuju Asia. Berkat kehebatannya,  Sultan Murad ke-IV yang menyaksikan sendiri peristiwa tersebut memberikan hadiah kepada Herzafen berupa 1.000 keping emas.

* Lagari Hasan Celebi
Kehebatan Lagari tak jauh berbeda dengan saudaranya, Herzafen. Lagari  merupakan orang yang sangat giat dalam melakukan penelitian tentang pesawat terbang bertenaga dorong ledakan yang sekarang disebut dengan nama roket.

Lagari pertama kali menerbangkan roketnya pada saat kelahiran putri Sultan Murad ke-IV dari Istana Topkapi, Istanbul pada 1633. Saat akan meluncurkan roketnya, Lagari masuk ke dalam sebuah kerangkeng yang terhubung dengan roket. Kemudian dengan berhati-hati dia menyulut bubuk mesiu yang berada di dalam roket.

Lalu percikan bunga api yang disertai asap pun mulai terlihat dan tak berapa lama kemudian roket yang membawa kerangkeng Lahari pun terbang menuju ke angkasa. Setelah mencapai ketinggian tertentu, bubuk mesiu pada roket pun habis terbakar.

Dengan sigap Lahari lalu keluar dari kerangkeng dengan menggunakan bajunya yang semacam parasut untuk mendarat ke muka bumi lagi. Akhirnya dia mendarat dengan selamat di tempat peristirahatan Sultan Murad ke-IV di Sinan Pasha.

Peristiwa penerbangan Lagari itu dicatat sebagai peristiwa terbang berawak vertikal pertama yang menggunakan sistem pendorong berupa tujuh buah roket dengan bubuk mesiu sebanyak 300 pound. Menurut catatan sejarah, Lagari berhasil mencapai ketinggian kira-kira 300 meter dalam jangka waktu selama 20 detik.

Karena prestasinya yang gemilang, Sultan Murad ke-IV memberikan penghargaan kepada Lagari dengan mengangkatnya menjadi salah satu pejabat militer terpenting di Angkatan Darat Turki. Berita kehebatan dua ilmuwan penerbangan yang bersaudara ini begitu menghebohkan negara-negara di Eropa. Bahkan berita kesuksesan penerbangan Celebi bersaudara itu menjadi buah bibir publik di Inggris pada 1638, dan dicatat oleh seorang penulis terkenal John Winkins dalam bukunya yang berjudul Discovery of New World.

Namun akibat terjadinya berbagai macam intrik politik di Istana Topkapi yang berusaha menjatuhkan kejayaan Celebi bersaudara, hubungan yang telah terjalin dengan baik antara Celebi bersaudara dengan Sultan Murad IV pun merenggang, bahkan kian memburuk dari waktu ke waktu.

Akhirnya Celebi bersaudara yang sangat berjasa terhadap dunia penerbangan modern saat ini dibuang ke negara Afrika, tepatnya di Aljazair dengan status tahanan politik. Setelah itu, mereka berdua dipindahkan dari pengasingan di Aljazair ke pengsingan di Crimea.

Celebi bersaudara yang kepandaiannya mencengangkan dunia, berakhir dengan tragis dengan menghembuskan nafas terakhirnya di pengasingan di Crimea pada sekitar 1640. Crimea pada kemudian hari, menjadi tempat percobaan roket Rusia.

Sejarah Penerbangan Legendaris
Kisah penerbangan Celebi bersaudara menjadi sebuah kisah yang melegenda.  Upaya Celebi bersaudara itu  dicatatat oleh seorang petualang yang juga penulis abad ke-17 M yakni Evliya Celebi dalam bukunya yang berjudul Seyahatname.

Evliya menuliskan kisah penerbangan Herzafen sebagai berikut:

Pertama-tama Herzafen berusaha melakukan penerbangan dengan meluncur dari atas Menara Okmeydani antara delapan hingga sembilan kali dengan kekuatan sayap yang diterpa angin.

Lalu, Sultan Murad Khan yang juga disebut sebagai Sultan Murad IV melihatnya dari rumah peristirahatan Sinan Pasha yang terletak di Sarayburnu. Herzafen terbang dari puncak menara Galata menuju Dogancilar di Uskudar dengan bantuan angin yang berhembus dari barat daya.

Sultan Murad IV kagum dengan pencapaian Herzafen.  Sebenarnya, nama Herzafen sendiri bukan nama lahir pemberian kedua orangtuanya. Nama Herzafen merupakan pemberian dari Evliya Celebi sebagai penghargaan atas kehebatan Ahmed Celebi yang bisa menerbangkan pesawat untuk pertama kalinya. Herzafen sendiri memiliki arti yaitu seribu pengetahuan.

Selain menuliskan kisah penerbangan Herzafen, Evliya juga menuliskan kisah penerbangan saudaranya, Lagari yang menjadi penerbang roket untuk pertama kalinya dengan menggunakan bubuk mesiu. Kehebatan Celebi bersaudara membuat Evliya terkagum-kagum dan mengabadikan kisah mereka di dalam karya besarnya.

Dalam catatan perjalanan bersejarah Evliya, Seyahatname, Sultan Murad ke-IV juga mengatakan, “Herzafen Ahmed Celebi telah membuka era baru dalam sejarah penerbangan.'' Keberanian dan kehebatan Celebi bersaudara benar-benar terukir dalam sejarah penerbangan dunia. Mereka berdua memang pantas mendapat tempat khusus dalam sejarah penerbangan.

Akhirnya untuk mengenang jasa-jasa Celebi bersaudara terhadap dunia penerbangan, Pemerintah Turki modern mengabadikan nama Hezarfen Ahmet Celebi dengan memberikan nama tersebut pada sebuah bandara udara di Istanbul, Turki. dya 

SEJARAH PENERBANGAN INDONESIA
Indonesian Airways lahir saat perjuangan bangsa Indonesia menegakkan kedaulatannya sekaligus menjadi sejarah penerbangan Indonesia dan cikal bakal penerbangan nasional Garuda Indonesia. Akankah hari lahirnya menjadi sebuah kontroversi sejarah ?

Kali ini kita tinggal pilih hari jadi Garuda, 26 Januari 1949 saat Indonesian Airways terbang dari Calcutta ke Rangoon, 28 Desember 1949 saat Presiden Soekarno dan rombongan naik Garuda Indonesian Airways ke Jakarta, atau 31 Maret 1950 saat keberadaan Garuda Indonesian Airways diumumkan dalam Berita Negara. Yang jelas, Indonesia Airways yang merupakan penerbangan AURI di luar negeri tidak terkait dengan Garuda Indonesian Airways hasil perundingan Pemerintah Indonesia dengan Belanda pasca-Konferensi Meja Bundar.” Lebih rancu lagi jika kita menyimak cabin magazine Garuda terbaru (Januari 2007) pada artikel "The Birth of Airline". Di situ disebutkan, penerbangan tanggal 28 Desember 1949 dari Yogyakarta ke Jakarta dilakukan dengan pesawat Seulawah. Padahal, menurut catatan sejarah, saat itu Seulawah masih di Burma berlogo Indonesian Airways yang dioperasikan para pilot AURI. Lalu, tanggal 26 Januari 2007 masihkah kita mengucapkan "Selamat Ulang Tahun Garuda"? (“Garuda Bukan "Indonesian Airways", penulis : F Djoko Poerwoko).
Tulisan diatas dikutip dari kolom opini harian Kompas, tanggal 26 Januari 2008 dimana bukan tidak sengaja sang penulis yang juga purnawirawan TNI-AU membuat tulisan ini bertepatan dengan hari lahirnya Garuda Indonesia. Kontroversialkah sejarah Garuda Indonesia jika kita membaca tulisan ini mengingat ada tiga versi tanggal yang berbeda satu sama lain ? Untuk menjawabnya kita harus membuka kembali lembaran sejarah.

Kelahiran Indonesian Airways

Tidak terasa telah 59 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 26 Januari 1949 sebuah penerbangan nasional lahir walaupun tempat kelahirannya bukan di Indonesia. Indonesian Airways begitu nama yang diberikan oleh perwira TNI-AU (saat itu bernama AURI) sebagai salah satu bukti eksistensi sekaligus perjuangan bangsa Indonesia di luar negeri yang saat itu sedang terancam kedaulatan dan kemerdekaannya oleh Belanda.

Proses kelahirannya sangat tidak disengaja. Pesawat angkut modal Republik, C-47 Dakota RI-001 “Seulawah” sedang ada di Kalkuta, India untuk menjalani perawatan, pengecatan, dan modifikasi dengan ekstra tanki bahan bakar. Bertepatan dengan itu pula, Belanda melancarkan Agresi Militer II, 19 Desember 1948 yang berhasil menduduki kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota negara. Sangat dilematis, mau pulang jelas akan menuju mulut harimau, ditambah lagi masalah belum lunasnya pembayaran pesawat RI-001 dan pengeluaran rutin seperti gaji crew, sewa hangar, dan biaya hidup. Sadar bahwa pesawat terbang hanya akan menguntungkan selama ia terbang, sedangkan ia akan memakan biaya bila didarat, maka dari itulah opsir-opsir TNI-AU pimpinan Opsir Udara II, Soetadjo Sigit yang terbang dengan RI-001 ke India berinisiatif mendirikan perusahaan penerbangan Indonesian Airways untuk memperoleh uang. Seperti yang diketahui pula Soetardjo Sigit ini juga bersama-sama rekan-rekan terbang melancarkan serangan udara pertama melawan pendudukan Belanda di Ambarawa, Salatiga, dan Semarang tanggal 29 Juli 1947.

Berbeda dengan yang kita pernah dengar ternyata peranan Wiweko Soepono tidaklah besar. Ide awal merupakan milik Kapten/Opsir Udara III (kepangkatan saat itu) Soetardjo Sigit. Berhubung kepangkatan lebih rendah, KSAU Suryadarma memutuskan harus berkoordinasi lebih dulu dengan Wiweko yang saat itu berpangkat Mayor/Opsir Udara II yang menjabat sebagai staf ahli dan sedang bertugas di New Dehli.

Mulanya para opsir TNI-AU dan diplomat RI di India mengharapkan bantuan dari India untuk mengijinkan operasional Indonesia Airways. Sayang permintaan ditolak karena India telah memiliki perusahaan penerbangan nasional Air India. Jawaban postif malah datang dari negara yang tak diduga-duga, Burma. Burma (sekarang bernama Myanmar) baru beberapa bulan saja merdeka dari Inggris dan menghadapi banyak masalah. Mulai dari sarana transport terbengkalai, jalanan masih belum memadai, dan parahnya lagi pemberontakan muncul dimana-mana.

RI-001 “Seulawah” bertuliskan Indonesia Airways terbang pada tanggal 26 Januari 1949 dari Kalkuta menuju Rangoon, Burma untuk melaksanakan misi niaganya yang pertama kali. Tanggal inilah sebagai hari kelahiran Indonesian Airways.

Kelahiran Garuda

Setelah pengakuan kedaulatan terwujud, pemerintah Indonesia yang diwakilkan oleh Kementerian Perhubungan berunding dengan pihak Belanda yang diwakilkan oleh perusahaan penerbangan komersial KLM (Naamlooze Vennootschap/NV De Koninklijke Luchtvaart Maatschappi) tentang penerbangan nasional Indonesia. Terbentuklah usaha patungan penerbangan sipil dengan Inter Insulair Bedrijf (IIB)-anak perusahaan KLM dengan nama NV Garuda Indonesian Airways (GIA).

Ini semua terjadi berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar 1950 selain memuat dan mengakui kedaulatan negara Indonesia (baca : Republik Indonesia Serikat) juga penyerahan kekayaan Hindia Belanda yang meliputi pertambangan, perkebunan, pabrik, dan untuk transportasi adalah perusahaan perkapalan (KPM) yang kelak menjadi Pelni, kereta api (SS dan NIS) yang kelak menjadi PJKA, serta untuk penerbangan adalah IIB. Sebagai catatan KNILM yang merupakan kepanjangan tangan KLM yng beroperasi di Indonesia (baca : Hindia Belanda) bubar saat Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942. Pilot, crew dan pesawat yang ada pergi ke Australia dan bergabung dengan AU Australia dan saat Belanda kembali ke Indonesia, eks KNILM ini membentuk perusahaan yang bernama IIB yang didominasi oleh penerbang atau tepatnya eks pilot transport militer karena tidak lain asal IIB dari Skuadron 19, AU Belanda.

Nama Garuda sendiri sengaja diberikan oleh Presiden Soekarno selain menjadi lambang negara juga terinspirasi kendaraan sang Dewa Wisnu berdasarkan sajak pujangga jaman kolonial Noro Soeroto, Ik ben Garoeda, Vishnoe’s vogel, diazijn vleugels uitslaat hoog boven Uw eilanden (Akulah Garuda, burung milik Wisnu yang membentang sayapnya menjulang tinggi diatas kepulauan-Mu). Penerbangan perdana dimulai pada tanggal 28 Desember 1949, sehari setelah pengakuan kedaulatan dengan Dakota PK-DPD. Lengkap dengan tulisan dan logo Garuda Indonesian Airways, rombongan Presiden RIS (Republik Indonesia Serikat), Soekarno dan Perdana Menteri RIS, Moh. Hatta terbang dari Maguwo, Yogyakarta menuju Kemayoran, Jakarta. Walaupun demikian penerbang masih kebangsaan Belanda karena saat itu tidak ada satupun pilot Indonesia yang memiliki lisensi Dakota.

Secara resmi GIA lewat hukum berlaku pada tanggal 31 Maret 1950 saat dikeluarkan Akte Notaris Raden Kadiman No. 137, dimana saham 50% dimiliki NV-GIA dan sisanya 50% dimiliki NV KLM. Pada tahun 1954, akibat berlarut-larutnya sengketa Irian Barat, pemerintah Indonesia mengambil tindakan menasionalisasi GIA dari KLM, maka dikeluarkanlah Akta Notaris Raden Meester Soewandi No. 30 pada tanggal 12 Juli 1954. GIA mengangkat pimpinan dari orang Indonesia sendiri yaitu Ir Soetoto yang menggantikan Dr. E. Konijnenburg asal Belanda. Bentuk badan hukum berubah dari NV menjadi Perusahaan Negara (PN). Diharapkan enam tahun kemudian jumlah pegawai KLM akan “teoritis nul”, walaupun pada kenyataan selanjutnya dipercepat sehubungan dengan perebutan Irian Barat dan rencana me-nasionalisme-kan seluruh perusahaan asing, tahun 1957 seluruh karyawan KLM dipulangkan dan sejak saat itu seluruh personil GIA adalah dari bangsa Indonesia sendiri.

Lalu bagaimana dengan Indonesian Airways ? Praktis dengan pengakuan kedaulatan kontrak charter udara diatas Burma dihentikan Juni 1950. Indonesian Airways dibubarkan atau lebih tepat personil-personil yang notabene opsir Angkatan Udara kembali ke TNI-AU atau ada yang bergabung ke GIA. Personil yang memiliki lisensi terbang disekolahkan untuk mendapatkan sertifikasi komersial pilot Dakota. Penerbang hijrah dari TNI-AU macam Budiarto Iskak atau Sjamsuddin Noor inilah yang menjadi pilot pertama GIA asli Indonesia tahun 1954.

Kontroversi Sejarah

Jelas sekali bahwa tidak ada hubungan antara Garuda Indonesia Airways dengan Indonesian Airways dan itu berlangsung terus “adem ayem“ tanpa pernah ada apa-apa sampai awal tahun 1979. Ketika itu GIA dipimpin oleh Wiweko Soepono. Bekerjasama dengan KSAU saat itu Marsekal Ashadi Tjahjadi, Wiweko memproklamirkan dalam pidatonya bahwa, “…didalam tubuh Garuda sudah tertanam benih-benih perjuangan 30 tahun yang lampau…pada kesempatan ini kami mengucapkan rasa terima kasih kepada KSAU, yaitu Bapak Ashadi yang telah menghibahkan kepada Garuda, Hari Ulang Tahun Indonesian Airways termasuk cita-citanya yang telah dicetuskan 30 tahun yang lalu.”

Semangat perjuangan pendiri bangsa Indonesia yang harus tertanam dalam perusahaan, begitu kira-kira yang ditangkap dari pidato Wiweko mengenai hibah ulang tahun Indonesian Airways yang menjadi hari berdirinya Garuda Indonesian Airways yang sekarang telah berubah menjadi Garuda Indonesia. Diperkuat lagi pernyataan Lumenta yang mewakili GIA dihadapan DPR perihal tanggal kelahiran GIA. Bahwasanya benar nama GIA baru digunakan tahun 1950 tapi momentum tanggal 31 Maret itu sebagai “lebih bersifat penandatanganan serah-terima kerjasama” sebuah tanggal yang tidak memiliki arti sejarah dan semangat perjuangan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, tanggal de facto kelahiran GIA adalah tanggal 26 Januari 1949 sedangkan tanggal de jure adalah tanggal 31 Maret 1950. Begitulah kira-kira alasannya.

Naif sekali. Padahal bukankah mendapatkan pengakuan kedaulatan Indonesia berikut isi perjanjian KMB itu diperoleh dari perjuangan bangsa Indonesia pula ? Wiweko tidak berpikir panjang dan sekaligus menyepelekan arti perjuangan TNI-AU pasca Agresi Militer II yang nyaris tidak memiliki apa-apa untuk melawan pendudukan Belanda.

Apa daya, sejak saat itu tanggal 26 Januari 1949 adalah hari lahirnya Garuda Indonesia. Dan pada saat tanggal pencetusan tersebut Garuda artinya telah berumur genap 30 tahun dan dirayakan diantaranya dengan penerbitan "Prangko 30 Tahun GIA". Tidak urung sang penggagas ide dan pelaku sejarah Indonesian Airways Soetardjo Sigit mengecam dengan keras, "…itu kan pemalsuan sejarah, mana mungkin ulang tahun satu orang atau suatu badan dialihkan ke pihak lain ?" Tidak urung pula Soetardjo dkk. mengajukan protes langsung kepada Marsekal Ashadi malah ditanggapi dingin dengan alasan mengapa tidak mengajukan keberatan sebelumnya. Padahal Soetardjo beserta kawan-kawan pelaku Indonesian Airways tidak pernah sekalipun diajak bicara dan berkonsultasi sebelum penghibahan tersebut.

Ketika itu Garuda dibawah single manajemen, setali tiga uang dengan pemerintahan Orde Baru, sama-sama terpusat kepada satu orang dan sangat otoriter. "Bahkan setan-pun tidak berani menggangu kebijakan (keliru) seorang Wiweko" ,begitulah kira-kira dianalogikan. Tapi Soetardjo tak pernah mundur. Setelah angin reformasi berhembus, Soetardjo kembali memperjuangkan dengan apa yang diistilahkan "meluruskan sejarah yang dibengkokan" dan "bahwa penghibahan hari lahir Indonesian Airways kepada PT. Garuda Indonesia adalah suatu blunder".

Gayung-pun bersambut. Mantan penerbang Garuda bersatu memperjuangkan kebenaran sejarah. Apalagi tahun 2001, Direktur Utama Abdulgani bertanya perihal kejelasan dan kesimpangsiuran sejarah Garuda akibat kedatangan wakil dan ahli waris penyumbang pesawat "Seulawah". Para purnawirawan TNI-AU juga menyambut dengan baik. Tidak lain untuk mengembalikan sejarah perjuangan TNI-AU yang telah dirampas, apalagi diketahui kemudian Surat Keputusan (SKEP) tertanggal 26 Januari 1979 yang berisikan penghibahan hari lahir tersebut tidak ada nomor skep-nya !

Kalau boleh sedikit berandai-andai, tentulah inisiatif dan tanggal 26 Januari 1949 itu harus dihargai. Bahkan hari itu bisa ditetapkan sebagai Hari Penerbangan Sipil Nasional. Sementara untuk Garuda sendiri, ada dua pilihan faktor ke-sejarah-an yang sama-sama kuat dan bisa dipilih : 28 Desember 1949, tanggal de facto atau 31 Maret 1950, tanggal de jure. Semua fakta dan bukti telah jelas, sekarang bola ditangan pengambil keputusan yang tak lain manajemen Garuda sendiri dan pemerintah Indonesia selaku pemilik. Perjuangan meluruskan sejarah bukanlah bertujuan menyudutkan dan mengkambinghitamkan individu, instansi atau pihak tertentu. Apalagi tokoh-tokoh yang terkait telah meninggal dunia dan semuanya telah memberikan andil yang besar bagi pembangunan bangsa ini. Tapi lebih besar daripada itu semua yaitu memberikan sejarah yang benar bagi generasi penerus agar jangan sampai terulang dan dapat diambil hikmah serta pelajarannya. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya ? (Sudiro Sumbodo, Jakarta, 2008)

Referensi :
1. Angkasa, Majalah Kedirgantaraan, "Indonesian Airways Bukan Embrio Garuda", No.10 Juli 1998
2. Garuda Indonesia, "Perjalanan Pengabdian : 45 Tahun Penerbangan Milik Bangsa", Jakarta 1994
3. Kompas, Koran Harian, "Garuda Bukan Indonesian Airways", Poerwoko, Djoko, tanggal 26 Januari 2008
4. Makalah "Pelurusan Sejarah Hari Ulang Tahun Garuda", Penyusun : Djokomono, Capt. Roekanto; Syafei, Capt. M ; Soebekti, Capt. Sri.
5. Suara Pembaruan, Koran Harian, "Tentang Hari Lahir Garuda", Tumbelaka, Capt. F.A. tanggal 5 April 2000 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar